Sabtu, 10 Agustus 2013

Berlebaran di Malam Takbiran

KERJA di pabrik mana?” haji Rosyid, atau yang di kampung akrab disapa Abah Sate, yang asal Madura itu bertanya lagi saat saya bilang lebaran ini saya harus masuk kerja.

“Seperti di pabrik Kedawung ya, mesinnya kan tidak boleh sampai mati. Jadi harus ada yang masuk sekalipun hari raya,” Cak Kozin, yang kebagian tugas sebagai petugas keamanan kampung selama ditinggal mudik penghuninya, menimpali.

Begitulah. Tetapi saya tidak lantas menyebutkan apa sebenarnya pekerjaan saya. Kalaulah saya diuber oleh pertanyaan yang lebih menjurus, saya juga telah menyiapkan jawabannya; saya bekerja di perusahaan jasa. Jasa apa? Nah, jasa apa yang tugasnya antara lain membetulkan kunci, menambal plafon yang berlubang karena kondensasi pipa AC dan sebagainya. Wis-lah. Sampeyan jangan ikutan detail-detail nanyanya.

Karena harus segera berangkat kerja, seturun shalat Ied saya langsung berkunjung ke tetangga. Tak terlalu banyak sih. Karena sebagian besar tetangga sedang mudik merayakan lebaran di kampung halaman. Jadi ketahuan sekarang, ternyata orang asli Surabaya di sekitar rumah saya ini tidak seberapa. Sebagai kampung yang berdekatan dengan kawasan industri, sebagian besar penghuninya adalah para pendatang. Dan sekarang, yang sebagian besar itu sedang pulang kampuang.

Setelah unjung-unjung ke tetangga, saya berangkat kerja. Jalanan, karena hari raya, tentu tak seperti biasanya. Jalan A. Yani yang biasanya tiada hari tanpa kepadatan, pagi itu cenderung lengang-ngang. Di dekat Royal Plaza yang biasanya ruwet sampai menjelang rel KA di dekat RSI, juga lancar jaya. Tetapi ada juga terbersit perasaan khawatir. Hal ini sebenarnya sebagai ketakutan akan mengalami kejadian seperti yang saya alami sekian lebaran yang lalu. Yakni ketika ban motor saya bocor. Tukang tambal ban yang biasanya antara satu dan lainnya berjarak tak seberapa jauh, saat lebaran mereka jarang yang buka praktik. Banyak di antara mereka yang ikutan mudik. Kalau sampai mengalami ban kempis, bisa-bisa menuntun kendaran mencari tukang tambal ban sampai napas kembang-kempis.

Saling mengunjungi seturun sholat ied, itu sudah biasa. Tetapi bagaimana kalau sudah berlebaran (dalam arti; saling kunjung-mengunjungi untuk bermaafan) di malam takbiran? Hal yang bagi saya termasuk asing ini pertama kali saya alami sekitar 14 tahun yang lalu. Saat dimana pertama kali saya berlebaran di kampung halaman istri.

“Tidak ikut aku,” kata saya saat itu. “Ini masih takbiran, belum lebaran, belum afdol untuk saling bermaaf-maafan,” saya beralasan.

“Ya, sudah. Kalau Sampeyan unjung-unjung-nya besok, berarti sendirian,” istri saya lalu berangkat unjung-unjung ke sanak-kerabat.

Benarlah adanya; paginya, seturun sholad ied, suasananya tidak seperti di kampung asal saya di Jember sana. Di kampung istri saya, di sebuah desa yang masuk wilayah kecamatan Karangbinangun, LA, itu tidak umum orang beranjangsana di waktu siang di hari raya. Karena bersilaturrahim saling maaf-memaafkan telah dituntaskan di malam takbiran, paginya –bagi saya-- suasana tidak seperti sedang lebaran. Terbilang sepi, nyaris semua orang duduk manis menonton televisi sambil ngemil makan jajan di rumah masing-masing.

Karena tidak ingin mengulangi unjung-unjung bermaafan seorang diri, kalau pas lagi berkesempatan berlebaran di kampung istri dan sedang tidak jatahnya incharge masuk kerja, saya ikutan bersilaturrahim di malam takbiran. Namun untuk orang-orang terdekat di rumah; mertua, kakek-nenek dan anak-anak serta istri, saya tetap lebih sreg melakukan acara maaf-maafan di pagi hari, beberapa saat setelah turun dari shalat ied.*****


1 komentar: