Senin, 09 Desember 2013

3 Hari, 10 Bis



JAM menunjuk angka 08.31 WIB (Waktu Indonesia Bungurasih) kala bis yang saya tumpangi meninggalkan terminal, hari Jumat kemarin. Sebagai makhluk yang jarang sekali bepergian, ketika hari itu saya harus menghadiri sebuah acara keluarga di lereng Gunung Raung dan Gumitir, dari jauh-jauh hari saya sudah berencana akan membuat semacam catatan perjalanan. 

Buku dan pulpen, seperti biasa selalu turut serta di dalam tas saya. Tetapi, ya ampun, kenapa saya tak mencatat nopol bis yang saya tumpangi ini. Celakanya lagi, dalam secarik karcisnya, tak tertera nama PO-nya. Namun, mata saya yang sudah tak terlalu awas ini tadi ketika seorang makelar menggandeng saya untuk masuk masih sempat melihat angka 7277 tanpa ingat huruf depan dan belakangnya. Nantilah, pikir saya, akan saya cari tahu kalau ia ngetem sejenak di bundaran Gempol.

Tetapi perkiraan saya meleset. Bis yang sopirnya penganut haluan kiri ini –karena di sepanjang tol hobi banget menyalip dari lajur kiri—tak berhenti di Bundaran Gempol. Terus bablas. Ketika bannya menginjak jalanan yang berlubang, duh mana tahan, suspensinya yang keras membuat saya yang duduk di posisi persis di atas roda depan sungguh merasa sangat tidak nyaman.

Nyaris dua jam digoyang-goyang, saya takut dilanda mabuk perjalanan. Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat kala di kening mulai muncul keringat dingin, sementara perut makin tidak karuan. Di sebelum pertigaan Ketapang, Probolinggo, untungnya si suspensi mati ini berhenti; Untuk menerima operan semua penumpang berkarcis Jember dari bis yang --karena saya mulai KO-- tak sempat saya perhatikan. Saya meloncat turun sebelum isi perut meloncat duluan, sebelum nama baik saya sebagai penumpang bis menjadi tercemar berantakan.


Setelah ambil napas dan meneguk air mineral, syukurlah, saya mulai baikan. Saya lihat layar ponsel: 10.31 WIP (Waktu Indonesia Probolinggo). Dua pasang TOA nyaring bersuara dari Masjid Nurul Huda, di seberang rel kereta api. Waktu shalat Jumat masih satu jam lagi. Kalau saya melanjutkan naik bis, tentu ketika tiba waktu shalat saya sudah masuk wilayah Lumajang. Namun saya memilih berjumatan di Ketapang ini saja. Ya, itung-itung mengembalikan stamina sambil memberi waktu kepada usus-usus di perut agar berada di tempat semestinya setelah dua jam tadi di-kopyok si 7277.

Setelah Jumatan, benar saja, saya merasa lebih fit. Bahkan sudah bisa berlari kecil menyeberang jalan menuju angkot berjenis Carry bercat kuning. “Ke terminal, Pak,” saya berkata sambil masuk mobil.

Di Bayuangga, tak saya temukan plakat bis yang bertuliskan Kencong atau Ambulu sebagai indikasi bis itu melewati desa tujuan saya. Dan ketika Restu bernomor dada N 7166 UG jurusan Surabaya-Banyuwangi hendak berangkat, saya langsung meloncat. Restu melaju dengan tradisi yang ia punya. Tak banyak cerita, pada pukul 13.24 WIL (Waktu Indonesia Lumajang), saya telah tiba di terminal Minak Koncar dengan lapar.

Di terminal kecil ini, bis jurusan Jember, Banyuwangi atau Denpasar banyak sekali, dan itu semua via Tanggul-Rambipuji. Tetapi yang lewat desa saya belum saya temui. Saya keluar terminal, menyeberang jalan menuju gerombolan calon penumpang yang berteduh di bawah pohon, di depan sebuah warung kecil. Saya duga, mereka semua itu adalah para penumpang yang menunggu bis yang lewat jalur sebagaimana yang saya tunggu.

Berdiri di depan warung membuat perut saya makin keras saja memainkan musik keroncong. “Baiklah,” kata saya kepada perut, “kita makan.”

Sambil menikmati nasi bungkus berlauk ayam dimasak bumbu Bali, mata saya terus mengawasi mulut terminal. Lauk sepotong ayam yang kelewat kecil membuat tangan saya meraih sebutir telur asin. Karena si perut belum puas, sebagai cuci mulut saya memberi bonus sebutir onde-onde kepadanya. “Bis yang lewat Kencong jarang ya, Bu?” kata saya kepada pemilik warung, perempuan tua yang berkacamata.

“Itu,” tangannya menuding mulut terminal.

Lhadalah, si Kenongo sudah muntup-muntup  hendak keluar. Setelah menyelesaikan transaksi bernilai sembilan ribu rupiah, saya masuk ke bis yang secara usia sudah terbilang tidak muda lagi itu. Dan memang begitu itu lazimnya, bis bertrayek pendek Lumajang-Jember via Kencong sebagian besar adalah lungsuran, bekas Akas. Ada juga sih yang bagus, tetapi itu adalah bis-bis bertrayek jauh macam Akas Ambulu-Surabaya/Ponorogo, atau Jember-Madura.

Sebagaimana bis-bis Lumajang-Jember yang lain, si Kenongo N7157 UY ini tabiatnya minta ampun. Jalannya seperti siput. Hobinya yang lain adalah suka ngetem. Jadi, kalau penumpang sedang terburu-buru, kelakuannya itu bisa bisa bikin jantungan.

Selepas terminal, tempat ngetem pertama adalah di depan kantor koramil di jalan Panjaitan. Sebagai bis kelas oekos nomos, jangankan AC, kursi-kursinya saja sudah ala kadarnya. Jadi, ketika ia ngetem, hawa di dalam bis luar biasa sumuk-nya. Lebih bikin geregetan lagi, kala ia ngetem begitu, ada Akas Surabaya-Ambulu yang menyalipnya. Wadduh! Seandainya tadi saya bersabar sedikit, saya bisa segera sampai tujuan dengan ikut si Akas itu....

Dengan hanya mengangkut dua puluh penumpang, si Kenongo berjalan dengan ogah-ogahan. Seogah saya meneruskan membuat coretan-coretan di buku catatan yang lebih sering saya fungsikan sebagai kipas untuk menusir keringat. 

Jam 15.10 saya tiba di mulut gang Walet, jalan menuju rumah. Di rumah, saya tak sampai satu jam; mandi, sholat Asyar, makan, lalu berangkat lagi. Kali ini bareng Ayah-Bunda yang sudah pada sepuh, dengan tujuan akhir di desa Sidomulyo. Sebuah desa yang terletak di lereng gunung dengan kopi sebagai penopang ekonomi warganya. Untuk menuju ke situ, saya harus dua kali naik bis. Mloko-Tawangalun, lalu Tawangalun-Garahan. Pertama saya pakai bis Kenongo, dari Tawangalun ke Garahan saya menumpang bis Kuda Laut. 

Karena lebih perhatian kepada orang tua yang sudah tua, untuk sementara saya tidak memerhatikan hal-ikhwal tentang dua bis yang kami tumpangi.
oOo
Bis apa yang nyaris membuat saya malu (baca: mabuk) di perjalanan saat berangkat kemarin baru saya tahu lebih jelas saat pulang dari Garahan, besoknya, di terminal Tawangalun, Jember. Tadinya, saya mengira yang giliran berangkat berikutnya adalah si Sabar Indah N 7276 UW yang sedari tadi sudah menghadap jalur 7; Kencong. Hampir setengah jam berlalu, ternyata tak jua ia masuk garis start. Ternyata, pemilik giliran di jam 13.21 itu adalah bis yang masuk belakangan. Kalaulah kondisi bis itu tak lagi baru bukanlah hal baru, tetapi dengan bodi bis penuh bergambar tokoh-tokoh kartun serial Sponge Bob Squarepant dengan tanpa sedikit pun tercantum nama PO-nya, baru kali ini saya temui.

Setelah menuntun Ibu dan Bapak naik, saya turun lagi untuk menengok nomor punggungnya. N 7277 UY. Sekalipun begitu, dengan jarak tempuh terminal Tawangalun ke desa tujuan saya yang tak sampai memakan waktu satu jam, saya kira si suspensi mati ini tak akan membuat saya serasa mau mati untuk kedua kali...
oOo
SETELAH menginap semalam di kampung halaman, Minggu pagi saya berangkat lagi ke Surabaya. Menunggu agak lama di mulut gang Walet, jam 07.07 WIB dari timur muncul bis dengan bodi bertuliskan Pari Kesit dengan bentuk huruf (font) model yang dipakai  Akas jaman lama. Masuk ke dalam, pada kaca depan, jelas terbaca tulisan Akas, tetapi itu tidak akan terbaca dari depan karena telah ditimpa cat hitam dengan tebal.

Tidak ada hal yang menarik saat naik Pari Kesit ini. Jalannya pelan, dan itu bisa bikin bosan. Untuk membunuh rasa itu, iseng saya menghitung bunyi klaksonnya. Ya, sopir muda berkacamata hitam dan berkaus warna sama bertuliskan Sniper ini suka sekali membunyikan klakson. Dari saya mulai duduk tadi, baru sampai Toko Ijo Kencong saja ia sudah membunyikan klakson 61 kali. Dan dari Kencong ke Yosowilangun si Sniper itu menembakkan lagi bunyi sebanyak 38 kali! Saya bertekat terus menghitung sampai terminal Minak Koncar sebenarnya. Tetapi seorang perempuan berbaju merah motif bunga-bunga yang baru naik dan duduk di samping saya membuat konsentrasi saya menghitung bunyi klakson menjadi kocar-kacir. Iya benar, jelek dan cantik itu relatif. Tetapi saya rasa, perempuan di samping saya ini tentulah masuk kategori cantik, tentu saja kala ia masih muda, sekitar 50 tahun yang lalu....

Jelek-jelek, si Pari Kesit ini tak jelek-jelek amat nasibnya. Buktinya, tak sedikit penumpang yang berhasil ia sisir sepanjang perjalanan. Di Tekung, Lumajang, dari jauh saya lihat seorang perempuan bersama putri kecilnya berdiri di pinggir jalan. Anehnya, tanpa perempuan itu melambaikan tangan, si sopir menepikan bis dan cekatan si kernet membukakan pintu. Perempuan itu tetap di bawah, hanya mengangsurkan buntalan berisi pakaian ganti untuk diberikan kepada si tukang klakson itu. Berikutnya, anak si perempuan itu menangis ingin naik bis. Sekali lagi si kernet ambil peranan; mengangkat gadis kecil berumur sekitar 3 tahun itu untuk diangsurkan kepada pak Sopir. Si anak terus merengek, ingin ikut Ayahnya. 

Pak sopir menciumi anaknya dengan sayang sebelum mengembalikannya lagi kepada ibunya yang tetap berdiri di bawah. Saat ia membawa bis mulai bergerak, saya lihat di bawah si kecil masih belum diam dari tangisnya....

Walau saat naik tadi kondektur bilang langsung Surabaya, saya sungguh tidak percaya dan tetap membayar untuk sampai Minak Koncar, Wonorejo saja. Dan benarlah adanya, semua penumpang jurusan Probolinggo atau Surabaya dioper oleh si Pari Kesit di Lumajang ke Restu Agung. Sekalipun saya bukan operan, saya ikut juga ke bis bermesin Hino bernopol N 7104 UG dengan kaca depan bertuliskan Patrick warna kuning dengan huruf besar-besar ini.

Saya rasakan, cara sopir membawa si Patrick ini lumayan sangar. Lepas Minak Koncar pada catatan waktu 09.50 WIB ia sudah terlibat aksi kejar-mengejar. Rival yang ia tantang adalah si Restu yang sudah start duluan. Perburuan makin seru kala masuk Tongas. Ia dan lawannya hanya dipisahkan truk tanki Pertamina bernopol L 8562 UX yang sedang menggendong muatan seberat 40 ribu liter.

Saya sampai berdiri untuk mencari tahu berapa nomor punggung si Restu. Gagal. Pantatnya tak bernopol karena bempernya perotol. Iring-iringan kendaraan dilahap Restu dengan ugal-ugalan. Si Patrick membuntuti tak mau ketinggalan.

Sesampainya di pasar Nguling si Restu nyaris disalip saat menaikkan penumpang. Tetapi jarak yang terlalu mepet membuat si Patrik tak punya ruang gerak aman. Melaju lagi, berkejaran lagi. Dua pengamen yang menerobos masuk ketika sesaat berhenti di pasar Nguling tadi berusaha menghibur penumpang lewat lagu koplo berjudul Oplosan. Itu, bagi saya, sebagai kata lain dari perasan penumpang yang dioplos saat bis yang ditumpangi melaju ugal-ugalan begitu. Oplosan antara senang karena bis melaju kencang sehingga bisa segera sampai ke tujuan dengan perasaan was-was kalau karenanya akan terjadi apa-apa di jalan.

Selalu ada pemenang di antara peperangan. Dan Restu makin meninggalkan Patrick saat sebelumnya ia lebih lihai melahap banyak kendaraan di depan. Tetapi, Patrick tidak menyerah. Setidaknya belum. Ia terus tancap gas. Setelah sempat jauh tertinggal, jejak mulai nampak saat masuk Ngopak. Bahkan saat Restu menurunkan penumpang di seberang kantor Telkom STO Grati, ia berhasil disalip Patrick. Namun tak berlangsung lama, tepat di seberang Masjid Nuril Musafirin Gujugjati-Lekok, Restu manyalip Patrick lagi dengan manuver tajam plus dibumbui makian awak Restu kepada kru Patrick.

Anggap saja makian itu sebagai psywar, maka adegan berikutnya tetap bikin dada berdebar. Namun rute berikutnya dengan jarak antar kendaraan yang mepet, plus lebar jalan yang tak seberapa, tak ada lagi ruang gerak untuk saling menyalip. Persis di dekat pabrik Ceil Jedang, si Restu makin tak terjangkau jarak pandang. Dan baru terendus lagi saat akan memasuki terminal baru Pasuruan.

Saya lihat Restu tak masuk terminal dan si sopir hanya melemparkan uang lewat jendela yang kemudian petugas Dishup memungutnya seperti pencari sumbangan di jalan-jalan. Kelakuan yang saya di lakukan pula oleh sopir Patrick yang saya tumpangi ini. Keluar terminal, naga-naganya balapan akan dimulai lagi.

Ketika Restu mendahuli truk tangki semen curah milik Semen Gresik bernomor togel L 9043 UN, Patrick pun mengikutinya. Begitu pula saat bis Ladju  N 7294 UW yang melaju pelan disalip, Patrick ikut pula menyalip. Tetapi, dalam adu apa pun, stamina adalah termasuk hal utama. Restu memang protol bempernya, tetapi nafasnya kuat. Sementara si Patrick ini mengejar hanya bermodal nekat, dan ia harus menyerah di setelah perempatan Pasuruan yang menuju kawasan industri mebel, Kraton.

Tadinya saya kira ia hanya ngetem beberapa saat. Namun, saat sopir Patrick ini membuka tutup mesin dan terlibat diskusi dengan sang kondektur, saya dengar mereka membicarakan sesuatu yang bocor, patah dan harus dilas. Saya menangkap ada sesuatu yang tidak beres dengan mesin si Patrick. Apakah kondisi itu karena ia dipaksa bekerja keras mengejar si Restu tadi atau apa, saya awam tentang hal ini.

“Kenapa, Pak?” saya bertanya kepada pak kernet yang tanganya belepotan warna hitam setelah melepas barang yang patah tadi.

“O, ‘ledeng’-nya patah, Mas, harus dilas,” dengan logat Madura ia berkata.

Ledeng, tentu saja maksudnya pipa.

Setelah beberapa lama keluar bis karena tidak kuat panasnya di dalam, saya lihat sesuatu yang patah dan telah dibongkar oleh sang kernet tadi, dibawa si kondektur untuk dilaskan. Kepada si Patrick ini saya memang telah membayar penuh untuk turun di Purabaya, tetapi dengan si kondektur yang pergi mencari tukang las, dan itu entah untuk berapa lama, sama sekali tidak saya temui tanda-tanda semua penumpang dioper kepada bis lain.

Beberapa penumpang yang diburu waktu, mencegat bis lain dengan risiko kehilangan hak dari si Patrcik. Kalau saya ikutan tidak mempermasalahkan keadaan dengan tidak menuntut sisa ongkos, tentu saya punya kalkulasi sendiri. Bukan melulu pada rupiah semata, tetapi lebih kepada keraguan saya akan kondisi mesin (bahkan) setelah dilas nanti. Intinya, saya tidak mau ambil risiko berikutnya.

Kalau sedari berangkat kemarin sampai terakhir dengan si Patrick tadi saya selalu ikut bis tanpa AC, setelah gerah sekian lama, saya merasa sejahtera saat melanjutkan perjalanan ikut Mila Sejahtera, N 6341 LU. Kabin yang sejuk, suspensi yang empuk masih ditambah pula ada DVDnya.

Sopir bertopi ala pak Tino Sidin itu membawa bis dengan, meniru ucapan khas Pak Tino, bagus..., bagus....

Selepas bunderan Gempol, Pak Tino Sidin itu masuk tidak lewat arteri baru, tetapi mengambil rute tol lama, Pajarakan, lalu menusuk jalan raya Porong lewat samping, Mindi. Setelah menurunkan beberapa penumpang di Siring, bis masuk tol pukul 12.05. Dan dua puluh empat menit kemudian (12.29), “Ramayana,” jawab saya kala kondektur bertanya saat saya mendekat pintu depan.

Setelah meloncat dengan kaki kiri, saya berjalan menuju ke Salvira Tiga Saudara, tempat penitipan motor yang terletak berjarak satu toko  dari warung kopinya Pak No yang kata M. Faizi kopinya nikmat sekali. Setengah jam kemudian, dengan menunggang Supra 125, saya telah sampai di rumah. Kalau saat berangkat saya hanya membawa tas kecil, pulangnya bertambah dengan satu kardus oleh-oleh pemberian famili, plus beberapa lembar catatan remeh-temeh hasil dari sepuluh kali ganti bis dalam tiga hari ini.

Rose Kennedy bilang; hidup bukan soal kejadian penting, tetapi oleh peristiwa-peristiwa. Ya, saya setuju itu. Makanya saya berani mem-posting tulisan ini yang (bisa dikatakan) sama sekali bukan hal penting. *****


3 komentar:

  1. dengan enteng menyebut sopir MIla Sejahtera dengan sebutan Pak Tino Sidin sungguh merupakan bagian penting dari cerita ini; lantas juga bagian hitung-hitungan yang buyar karena duduk dengan seorang perempuan, haha...

    BalasHapus
  2. tapi saya sangat terkesan juga ketika Anda jelaskan bahwa Anda sempatkan diri masih mengunjungi orang tua di Kencong sana, meskipun acara pernikahan itu sama sekali tidak diceritakan, ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. TADINYA, menurut rencana (seperti pernah saya sampaikan kepada Sampeyan), rute saya: berangkat lewat utara (Tanggul), baru pulang lewat Kencong. Tetapi, menjelang 'take off', ada kabar dari kakak yang mudik dari Bali, bahwa saya harus membawa serta kedua orang tua untuk menghadiri pernikahan cucunya di lereng Gumitir sana. Itulah mengapa lalu saya lewat 'jalur lambat' Lumajang-Jember via Kencong.

      Membaca komentar Sampeyan barusan, sungguh memunculkan keinginan untuk sedikit menceritakan acara di rumah kakak saya itu. Tapi sayang seribu sayang, tulisan yang mestinya lebih hidup oleh foto-foto menjadi tidak kesampaikan dikarenakan kamera saya sepertinya sudah minta adik baru.

      Hapus